Beranda | Artikel
Tidak Ada Paksaan Dalam Agama Surah Al-Baqarah 256
Kamis, 20 Oktober 2022

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam

Tidak Ada Paksaan Dalam Agama – Surah Al-Baqarah 256 adalah kajian tafsir Al-Quran yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Kajian ini beliau sampaikan di Masjid Al-Barkah, komplek studio Radio Rodja dan Rodja TV pada Selasa, 22 Rabi’ul Awwal 1444 H / 18 Oktober 2022 M.

Download kajian sebelumnya: Ayat Kursi – Surah Al-Baqarah 255

Tidak Ada Paksaan Dalam Agama – Surah Al-Baqarah 256

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Tidak ada paksaan dalam agama; sungguh telah jelas antara jalan kebenaran dari kesesatan. Siapa yang kafir kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia sudah berpegang kepada tali yang kuat yang tidak akan terputus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah[2]: 256)

“Tidak ada paksaan dalam agama.” Artinya tidak boleh seseorang dipaksa untuk masuk agama Islam, kalau tidak maka akan dibunuh. Itu hanya terjadi pada zaman Nabi Isa ‘Alaihish Shalatu was Salam saja. Sebelum itu maka tidak ada. Karena di zaman Nabi Isa ketika turun, dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Nabi Isa tidak menerima jizyah lagi. Siapa yang tidak mau masuk Islam maka ia dibunuh. Adapun sebelum zaman Nabi Isa, maka tidak boleh ada paksaan untuk masuk Islam.

“Sungguh telah jelas antara jalan kebenaran (Islam) dari kesesatan (kesyirikan).” Menjadi jelasnya jalan kebenaran dari jalan kesesatan itu dengan beberapa cara. Yaitu:

Cara yang pertama yaitu dengan dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’anul Karim. Karena Allah dalam Al-Qur’an ini sudah membedakan antara kebenaran dengan kebatilan, kerusakan dengan kebaikan, semua sudah dibedakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Allah melarang untuk mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batin. Makanya di antara nama Al-Qur’an adalah Al-Furqan.

Cara yang kedua dengan melalui sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena yang menjelaskan Al-Qur’an adalah sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Cara yang ketiga yaitu praktek langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bagaimana dalam cara dakwahnya, bagaimana dalam cara shalatnya, cara ibadah dan yang lainnya.

Yang keempat yaitu praktek dari kalangan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali). Maka mereka juga menjelaskan tentang Al-Qur’an dan hadits dengan pemahaman yang shahih. Karena mereka adalah yang paling paham terhadap Al-Qur’an dan hadits, yaitu para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

“Siapa yang kafir kepada Thaghut,” Thaghut -kata Ibnul Qayyim- adalah setiap hamba yang melampaui batas dirinya sebagai hamba, baik dia sesuatu yang disembah atau diikuti atau ditaati. Hamba seharusnya menempatkan dirinya sebagai seorang hamba. Ketika si hamba ini menampakkan dirinya sebagai Tuhan, maka ini thaghut. Seperti halnya Firaun yang mengatakan: “Akulah Tuhan kalian yang paling tinggi.”

Yang berhak untuk membuat syariat adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mencela orang-orang musyrikin Quraisy yang membuat syariat-syariat yang tidak diizinkan oleh Allah dalam agama ini:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ…

“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang membuat syariat untuk mereka dari agama ini sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah?” (QS. Asy-Syura[42]: 21)

Maka kalau ada orang yang membuat syariat baru, berarti dia sudah melampaui batasan dirinya sebagai seorang hamba. Hamba tidak boleh membuat syariat. Kewajiban hamba adalah mengikuti syariat yang Allah turunkan melalui RasulNya ‘Alaihish Shalatu was Salam.

Demikian pula hamba yang mengaku-ngaku punya salah satu sifat ketuhanan. Misalnya kalau ada dukun mengaku tahu yang gaib. Sementara yang mengetahui yang gaib hanya Allah. Berarti dia sudah melampaui batasan dirinya sebagai seorang hamba.

Demikian pula seorang hamba yang dirinya ridha ditaati untuk menyelisihi Allah dan RasulNya. Bahkan dia mengharuskan manusia untuk menaati dirinya untuk menyelisihi Allah dan RasulNya. Maka ini juga hamba yang sudah melampaui batasan dirinya sebagai seorang hamba.

Setiap kita harus sadar bahwa kita ini hamba. Maka posisikan diri kita sebagai seorang hamba. Dalam atsar disebutkan:

رحم الله امرأً عرف قدْر نفسه

“Semoga Allah merahmati seorang yang tahu kedudukan dirinya siapa.”

Bahwa dirinya hamba, maka hendaknya dia posisikan dirinya sebagai seorang hamba untuk menghambakan dirinya kepada Rabbul ‘Alamin, bukan kemudian menyaingi Allah Rabbul ‘Alamin.

“Beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja,” artinya beriman bahwa Allah satu-satunya Dzat yang berhak disembah, beriman satu-satunya Dzat yang berhak ditaati melebihi segala-galanya, beriman satu-satunya Dzat yang memiliki kesempurnaan, baik itu dalam rububiyahNya, uluhiyahNya dan Asma’ wa ShifatNya.

“Siapa yang kafir kepada Thaghut dan beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja,” inilah makna Laa Ilaaha Illallah. Karena Laa Ilaaha artinya tidak ada Ilah, ini sama dengan firman Allah “siapa yang kufur kepada Thaghut.” Adapun Illallah maknanya menetapkan, ini sama dengan firman Allah “dan beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja.”

Maka peniadaan tanpa penetapan tidak cukup, ini namanya atheis. Jadi siapa yang kufur kepada Thaghut tapi tidak beriman kepada Allah, ini percuma. Dan jika hanya beriman kepada Allah tapi tidak kufur kepada Thaghut, ini namanya musyrik.

“Sungguh dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat yang tidak akan terputus.” Ini karena saking kuatnya tali Laa Ilaaha Illallah. Dimana siapapun yang betul-betul merealisasikan Laa Ilaaha Illallah, maka ia betul-betul diberikan oleh Allah kekuatan dalam hidupnya.

Banyak kaum takfiri yang hanya memfokuskan Thaghut itu kepada satu macam saja, yaitu hakim yang tidak berhukum hukum Allah. Mereka mengatakan bahwa itu Thaghut. Padahal Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa berhukum dan hukum selain Allah itu tidak mutlak kafir; ada yang sudah sampai derajat kekafiran, ada yang belum sampai kepada derajat kekafiran. Sampai kepada derajat kekafiran adalah ketika:

  1. Kalau dia punya keyakinan bahwa undang-undang yang ia buat itu lebih baik daripada yang Allah turunkan. Semua ulama sepakat orang ini murtad dari agama Islam.
  2. Kalau dia punya keyakinan bahwa undang-undang yang ia buat itu setara dengan hukum Allah. Maka semua ulama juga sepakat bahwa ia keluar dari Islam.
  3. Kalau dia punya keyakinan bahwa Allah menghalalkan untuk membuat undang-undang yang melawan undang-undang Allah dan RasulNya. Maka seperti juga para ulama sepakat dia keluar dari Islam.

Adapun kalau dia membuat undang-undang yang bertabrakan dengan hukum Allah ‘Azza wa Jalla, tapi dia yakin bahwa hukum Allah yang paling baik dan dia yakin bahwa wajib untuk berhukum dengan hukum Allah, tapi dia tidak mampu melakukannya karena mungkin ketakutan, atau karena keadaannya lemah seperti halnya Najasyi. Najasyi adalah raja Ethiopia yang selama beliau masuk Islam, beliau tidak berhukum dengan hukum Allah. Tapi ketika Najasyi meninggal dunia ternyata dishalatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan shalat ghaib. Ini bantahan terhadap pendapat orang-orang takfiri khawarij yang memutlakkan semua yang berhukum dengan hukum Allah adalah kafir. Mereka orang-orang takfiri berpendapat dengan ayat:

… وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Siapa yang tidak berhukum dan hukum Allah maka dia kafir.” (QS. Al-Ma’idah[5]: 44)

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhu ketika menafsirkan ayat ini berkata bahwa kafir yang dimaksud dalam ayat ini bukan kafir yang dipahami oleh orang-orang khawarij. Tapi yang dimaksud kafir dalam ayat ini adalah kafir yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/52265-tidak-ada-paksaan-dalam-agama-surah-al-baqarah-256/